Pakar IPB University Berikan Alternatif Atasi Pencurian Ikan di Natuna

Dr Jonson Lumban Gaol, dosen IPB University dari Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, turut memberikan komentar terkait praktik pencurian ikan di Natuna oleh nelayan asing. Menurutnya, ada tiga hal yang perlu dilakukan oleh masyarakat Indonesia untuk mengurangi pencurian sumber daya laut di Natuna.

Pertama, perlu melakukan monitoring dan pengawasan secara kontinu terhadap kapal-kapal ikan asing yang berlayar di perairan Indonesia. Monitoring dan pengawasan ini dapat dilakukan secara konvesional dan juga dengan memanfaatkan teknologi yang sudah ada seperti satelit.

“Kita bisa melakukan pengawasan dengan berbagai metode, seperti metode non-konvensional dengan teknologi satelit,” ujar Dr Jonson.

Beberapa teknologi yang telah digunakan untuk memonitoring kapal di dunia antara lain automatic identification system (AIS) dan vessel monitoring system (VMS).  Selain itu dapat juga digunakan teknologi setelit dari  sensor optical imagery, night-time optical imagery dari instrumen  Visible Infrared Imaging Radiometer Suite (VIIRS) dan Synthetic Aperture Radar (SAR).

Pemanfaatan teknologi satelit ini dimaksudkan untuk memantau kapal ikan yang tidak menyiarkan posisinya baik melalui AIS maupun VMS dan berada pada mode gelap (dark) dalam sistem pemantauan publik.

Baca Juga :  Ambassadors Town Hall Meeting, Ajang Kolaborasi Peningkatan Mutu Pendidikan Tinggi di ASEAN

“Sebagian besar kapal-kapal ikan di Indonesia itu tidak menyiarkan posisinya dan berada dalam kondisi gelap dalam sistem pemantauan publik,” ujar Dr Jonson.

Dengan bantuan teknologi satelit, kapal-kapal penangkap ikan dapat termonitor secara aktual. Teknologi satelit ini juga dapat memantau kapal yang mematikan sinyal dari AIS dan VMS nya. Satelit dengan instrument VIIRS dapat memantau kapal ikan yang menghidupkan lampu penerangan saat melakukan opreasi penangkapan pada malam hari. Biasanya, kapal penangkap ikan tersebut menyasar komoditas cumi-cumi dan ikan yang memiliki sifat fototaksis positif atau menyukai cahaya.

Dr Jonson juga menyebut, ada kapal-kapal penangkap ikan biasanya beroperasi pada malam hari. Dengan demikian, pengawasan dengan metode konvensional seperti patroli akan sulit dilakukan terutama jika tidak ada fasilitas dan sumber daya manusia yang memadai.  

Dengan kondisi yang demikian, Dr Jonson menyarankan supaya melakukan pemantapan sistem pengawasan kapal-kapal ikan di perairan Indonesia dengan mengintegrasikan teknologi yang ada.

“Integrasi teknologi ini sangat perlu dilakukan karena masing-masing metode mempunyai kelebihan dan kekurangan,” tambah Dr Jonson.

Meskipun telah mengintegrasikan teknologi dan metode, Dr Jonson menyebut perlu adanya dukungan dalam pengembangan armada penangkapan ikan khususnya bagi nelayan Indonesia di perbatasan. “Kapal-kapal perikanan itu, di samping melakukan usaha menangkap ikan, sekaligus menjadi penjaga perairan Indonesia,” katanya.

Baca Juga :  Usia 60 Tahun, Haryanto jadi Wisudawan Tertua di Wisuda ITS ke-122

Nelayan Indonesia di perbatasan Natuna berdasarkan data satelit, lanjut Dr Jonson, lebih sedikit jika dibandingkan nelayan dari Malaysia dan Vietnam. Dirinya menduga, keberadaan nelayan yang sedikit tersebut dapat dikarenakan faktor armada nelayan Indonesia yang hanya mampu berlayar di sekitar perairan pantai Natuna, padahal, laut Natuna masih membentang luas sampai perbatasan.

“Dukungan armada ini sangat penting, supaya nelayan juga bisa mengambil sumber daya laut kita dengan optimal. Kalau armadanya kecil, pasti nelayan tidak berani melaut menuju laut lepas, apalagi kalau cuacanya dalam keadaan ekstrem,” kata Dr Jonson.

Namun demikian, dirinya berharap, pemerintah maupun perusahaan dapat memberikan insentif yang lebih menarik bagi para nelayan yang melaut. Insentif tersebut dapat berupa peningkatan harga jual ikan maupun gaji awak kapal sehingga lebih banyak generasi muda yang tertarik menjadi nelayan dan sekaligus menjadi garda depan untuk mengawasi perairan Indonesia dari pencurian ikan oleh kapal-kapal asing. (RA)