Launching Sekolah PSP3 IPB University: Perkuat Digitalisasi Pertanian dan Desa, Tingkatkan Kesejahteraan Masyarakat

Revolusi digital merupakan jalan menuju industrialisasi desa. Proses ini merupakan jalan yang bisa ditempuh untuk memajukan desa. Masa pandemi COVID-19 juga mempercepat proses revolusi digital yang ada di masyarakat. Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3), Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB University merespon baik fenomena ini dengan melaunching kegiatan Sekolah PSP3, (7/4). Tema yang diangkat adalah mencerdaskan desa dan memandirikan pertanian Indonesia dengan sulaman digitalisasi, aksi kolaborasi dan inovasi.

Launching Sekolah PSP3 ini menghadirkan Dr Lala Kolopaking (Pakar Digital Desa, Fakultas Ekologi Manusia/Fema), Dr Harianto (Pakar Ekonomi Pertanian Fakultas Ekonomi dan Manajemen/FEM) dan Dr Bayu Krisnamurthi (Pakar Agribisnis FEM).  Ketiganya adalah dosen IPB University.

Dr Lala menyebutkan bahwa digitalisasi sangat berkaitan erat dengan pembangunan berkelanjutan. Proses ini mendorong konektivitas pertanian di pedesaan dengan konsumen. Konsepnya bukan desa kota lagi tapi petani bisa merambah konsumen bahkan di tingkat mancanegara. Hal ini adalah sisi positif dari proses digitalisasi.

“Para kreator digital ini kebanyakan adalah anak-anak muda yang memiliki penguasaan teknologi yang baik. PSP3 bisa melakukan lebih banyak riset aksi dalam digitalisasi pertanian dan desa. Selanjutnya dilakukan penguatan jejaring pengembangan dengan lembaga pembiayaan dalam kerangka penguatan investasi sosial,” ungkap Dr Lala.

Baca Juga :  Melawan "Keletihan Sosial" di Masa Pandemi

Sementara itu Dr Harianto menyebutkan bahwa pengembangan pertanian di desa membutuhkan teknologi dan Sumberdaya Manusia (SDM) yang unggul. Harus ada inovasi di bidang teknologi dan bidang kelembagaan untuk mengelola SDM. Kedua hal ini saling berhubungan satu sama lain.

“Teknologi membuat alokasi sumberdaya berubah di tingkat usaha tani. Perkembangan teknologi membuat produksi menjadi lebih banyak dan distribusi menjadi lebih efisien. Akan muncul nilai tambah untuk petani sehingga petani pemasukanya bisa meningkat,” ungkap Dr Harianto.

Hal yang sama diungkapkan oleh Dr Bayu Krisnamurthi yakni tentang digitalisasi ekonomi desa. Menurutnya digitalisasi ekonomi di desa perlu terus ditingkatkan bukan hanya pada efisiensi rantai pasok. Namun, perlu perumusan big data dan precision agriculture seperti yang diterapkan Brazil, Cina dan Amerika Serikat.

“Amerika Serikat 21,6 persen gross domestic product (GDP) berasal dari digital economy. Sementara itu China sudah 30 persen, Brazil sebagai pembanding sudah 20,9 persen. Indonesia baru 11 persen dan terus berkembang. Ini adalah sesuatu yang sangat baru dan jauh lebih besar. Saat kita tidak masuk dalam sistem ini maka kita dinilai tidak eksis,” ungkap Dr Bayu Krisnamurthi.

Baca Juga :  Bantu Warga Ngrendeng, ITS Kembangkan Aplikasi Smart Village

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa seluruh proses digitalisasi pasti menggunakan internet. Sedangkan 58 persen petani di Indonesia tidak pernah menggunakan internet. Bahkan dari 42 persen yang menggunakan internet, 84 persennya bermasalah.

“Hanya sekitar delapan persen petani yang lancar menggunakan internet. Alasannya  beragam seperti tidak mempunyai alat, tidak mempunyai kuota, dan tidak ada jaringan,” jelasnya.

Petani membutuhkan teman untuk menguasai teknologi. Menurutnya PSP3 IPB University perlu membuat program untuk mempersiapkan petani menghadapi hal baru ini. Jika petani ditemani maka petani akan bisa mengikuti perkembangan ini.

“Semua pihak harus bisa bersama-sama agar digitalisasi ekonomi bisa berdampak positif bagi petani di desa,” tandasnya. (NA/Zul)