close

Pakar Pangan dan Pertanian IPB University Kritisi UU Cipta Kerja

Prof Edi Santosa, Guru Besar IPB University dari Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian (Faperta) mengkritisi turunan Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) yaitu PP 26/2021 tentang penyelenggaraan bidang pertanian.
Pada subsektor perkebunan, Prof Edi melihat ada kebijakan baru untuk industri hilir atau pengolahan yaitu pembatasan lahan dan kewajiban memiliki lahan.

“Misalnya untuk perusahaan kelapa sawit, batas maksimum luas lahan adalah 100.000 hektar dan batas minimum 6.000 hektar. Sementara rata-rata luas lahan kebun milik swasta dan negara adalah 4.600 hektar. Maka hal itu akan mendorong perusahaan untuk meningkatkan pembukaan lahan sampai pada batas minimum,” ujarnya dalam IPB Strategic Talk: Tinjauan Kritis UU Cipta Kerja Bidang Pangan dan Pertanian yang diadakan Direktorat Publikasi Ilmiah dan Informasi Strategis (DPIS) IPB University (9/3).

Sementara itu, Prof Widiatmaka, Guru Besar IPB University dari Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan (ITSL), Fakultas Pertanian (Faperta) memberikan tanggapan terhadap UU Cipta Kerja dari aspek tata ruang. “Selama ini soal perlindungan lahan pertanian telah diamanatkan dalam UU No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (UULP2B). Dalam realisasi UU Cipta Kerja, UULP2B justru masuk dalam klaster pengadaan tanah untuk investasi, infrastruktur dan proyek strategis nasional,” ujarnya
Ia juga menjelaskan pasal 124A ayat (2) UUCK: kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar masyarakat yang meliputi kepentingan untuk pembuatan jalan umum, waduk, bendungan, irigasi, saluran air minum atau air bersih, drainase dan sanitasi, bangunan pengairan, pelabuhan, bandarudara, stasiun dan jalan kereta api, terminal, fasilitas keselamatan umum, cagaralam, serta pembangkit dan jaringan listrik.

Baca Juga :  Program Kampus Merdeka Ajak Mahasiswa Indonesia menjadi SDM Kreatif dan Adaptif

“Merujuk pada penjelasan tersebut, maka produksi pangan tidak masuk dalam kepentingan umum, meskipun pangan merupakan hajat hidup umat manusia. Pangan juga tidak termasuk dalam Proyek Strategis Nasional,” tambahnya.

Prof Widiatmaka menyesalkan pangan dan kawasan pertanian rakyat tidak menjadi bagian dari kepentingan umum ataupun isu strategis nasional. Kendatipun UULP2B dihadirkan dalam rangka mengontrol laju konversi lahan sawah khususnya sawah dengan irigasi teknis sehingga dapat menopang ketahanan pangan nasional, namun lahan pertanian yang telah ditetapkan oleh Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) sekalipun, tidak luput dari ancaman konversi ke non-pertanian jikalau di area pertanian tersebut bertepatan dengan calon lokasi yang menjadi objek kepentingan umum.

Baca Juga :  KKN Abmas ITS Bantu Gencarkan Sertifikasi Halal bagi UMKM

Sebagai narasumber terakhir, Prof Sobir, Guru Besar IPB University dari Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian (Faperta) menyoroti UU  No 11/2020 yang diharapkan dapat meningkatkan investasi yang menyediakan lapangan kerja dan daya saing. “Pada tanaman perkebunan tidak ada pembedaan antara investasi asing dan investasi dalam negeri. Karena targetnya adalah meningkatkan investasi di bidang perkebunan maka menjadi tidak penting darimana sumber investasinya,” ujarnya seraya memancing daya kritis peserta seminar untuk sama-sama mengawal dan mengkritisi UU tersebut.

“Tidak dijadikannya pangan sebagai proyek strategis nasional maka pangan bisa dinomorduakan. Dan salah satu tantangan paling berat yang tidak masuk ke dalam pertimbangan UU dan PP ini adalah ketika produksi pangan di Indonesia dilaksanakan sebagian besar oleh rakyat dengan sistem budidaya bukan oleh perusahaan. Jika hanya disiapkan lahan siap tanam lalu siapa yang akan menanam? Meskipun ada lahan pengganti sebagai solusi dari alih fungsi lahan namun tidak jelas siapa yang akan menanam tentu itu berbahaya,” ungkapnya.