IPB University Kaji UUCK dan Implikasinya pada Sistem Logistik Perikanan

Kajian tim pakar IPB University dalam buku: “Tinjauan Kritis IPB terhadap Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK): Suatu Perspektif Agromaritim” menunjukkan sebanyak 36 pasal pada UU Perikanan 45 tahun 2009 terdampak dan 32 pasal telah diubahsesuaikan dalam UUCK. Merespon hal tersebut, Direktorat Publikasi Ilmiah dan Informasi Strategis (DPIS) IPB University menyelenggarakan The 22nd Strategic Talk, sebagai bagian dari Science to Policy Interface, (23/03).

Dr Taryono, Dosen IPB University dari Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) membahas mengenai rantai pasok dan logistik perikanan dalam UUCK beserta peraturan pelaksanaannya. Berdasarkan perspektif substansial-empirik, broken chain supply yang terjadi di awal pandemi telah merugikan baik sektor hulu dan hilir.

“Karena hulu kesulitan untuk memasarkan produk sehingga harga turun, namun hilir kesulitan untuk mendapatkan pasokan yang memadai sehingga harga meningkat. Sistem rantai pasok tersebut bertumpu pada sistem logistik ikan sehingga menjadi perekat dan penghubung agar industri dan hilir lebih terintegrasi dan sinergis,” ujarnya.

Isu penting dalam logistik ikan masih terkait pada integrasi antarkomoditas, integrasi antar moda, infrastruktur logistik, biaya logistik dan keterlibatan pemerintah pusat dan daerah. Sehingga perlu ada upaya untuk menyinergikan antar kebijakan pemerintah serta antar stakeholder. Basisnya adalah sistem informasi dan data.

Baca Juga :  Komit Atasi Persoalan Masyarakat, Undana dan UNR Bali Jalin Kerja Sama

“Pengembangan sistem logistik ikan harus berbasis pada information flow yang harus direncanakan, didesain dengan tujuan yang baik. Sampai sekarang, hal tersebut belum terlaksana, sehingga saya mengatakan bagaimana cara membenahi sistem informasi data dan kebijakan yang mengarahkan bagaimana regulasi itu terjadi,” ulasnya.

UUCK dan PP No. 27 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan memang sudah membahas mengenai sistem ketelusuran dan logistik ikan. Namun dinilai tidak cukup membantu sehingga perlu didorong peraturan yang bersifat lebih holisitik. Hal tersebut mengingat karakter sistem logisitk ikan yang bersifat multistakeholder, multikomoditi, multisektor dan multigovermental. Sehingga harus dikembangkan pula koordinasi dan intergrasi, leadership, otorisasi dan kewenangan.

Turunan UUCK dan kaitannya dengan PP 27 tahun 2021 juga masih banyak yang harus dipantau, ditelaah, dan diperdalami karena masih dalam konteks umum.  

Baca Juga :  Tingkatkan Keselamatan Lalu Lintas, ITS Teken MoU dengan Jasa Raharja

Dr Yotvitner, Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB University menyebutkan bahwa di dalam kajian risiko dalam konteks perikanan pesisir dan UUCK, perlu membahas pula potensi risiko bencana. Potensi risiko bencana yang telah direkam sebelumnya seharusnya dapat diintegrasikan sebagai bagian dari keputusan UUCK. Namun demikian, UUCK baru membahas mengenai kajian risiko pada kegiatan tertentu saja.

“Padahal, persoalan lingkungan akan sangat berdampak pada ekonomi secara umum seperti yang disebutkan dalam prinsip risiko lintas wilayah. Komponen-komponen tersebut dapat dintegrasikan sebagai kekuatan informasi agar dapat memastikan investasi yang masuk tidak menimbulkan bencana,” ujarnya.

Kaitannya dengan perubahan zona inti dalam UUCK, urgensinya juga seharusnya dapat memastikan keberlanjutan dan keselamatan ekosistem dalam porsi proporsional untuk mengimbangi pemanfaatan.  Mencari pilihan lain sebagai sumber ekonomi baru yang tidak ekploitatif namun mampu mendorong peningkatan pendapatan juga diperlukan. Hal tersebut bersinggungan dengan Project Strategis Nasional yang terkait pembukaan ekosistem baru di Kawasan Strategis Nasional.