close

TRANSKULTURALITAS MENDOBRAK BATAS-BATAS KAKU BUDAYA

Depok, 19 Juni 2021. Rektor Universitas Indonesia (UI) Prof. Ari Kuncoro, S.E., M.A., Ph.D memimpin Sidang Terbuka Upacara Pengukuhan empat Guru Besar (GB) Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI yang diselenggarakan secara hybrid (luring dan daring) pada Sabtu (19/6). Salah seorang yang dikukuhkan adalah Prof. Dr. Lilawati Kurnia, S.S., M.A yang membacakan pidato berjudul “Transkulturalitas Mendobrak Batas-Batas Kaku Budaya.” Acara tersebut disiarkan juga melalui UIteve dan kanal Youtube UI dengan lebih dari 800 views.

Pengukuhan Prof. Dr. Lilawati Kurnia, S.S., M.A., bersama Prof. Dr. Irmawati Marwoto, S.S., M.S., Prof. Dr. R. Cecep Eka Permana, S. S., M. Si., Prof. Manneke Budiman, S. S., M. A., Ph. D., tersebut antara lain dihadiri Dr. Seno Gumira Ajidarma, S.Sn., M.Hum. (Rektor Institut Kesenian Jakarta Periode 2016-2020), Isyak Meirobie, S.Sn., M.Si. (Wakil Bupati Belitung), serta Majelis Wali Amanah, Dewan Guru Besar, Senat Akademik, Sekretaris Universitas, para wakil rektor, dekan/direktur dari 16 fakultas/program pendidikan vokasi/sekolah, dan 180 orang yang hadir pada kesempatan tersebut.

Prof. Lila memulai pidatonya dengan mengutip satu bait puisi Bertolt Brecht yang berjudul “An die Nachgeborene” atau “Kepada Generasi Penerus”. Puisi Brecht ini ditujukan kepada generasi muda, untuk mengingatkan bahwa jangan pernah lalai mengkritisi hal-hal yang bertentangan dengan kemanusiaan. Lyrische triptichon ini merupakan sebuah eskapisme karena membicarakan alam dengan unsur keindahannya untuk melupakan hal-hal buruk yang terjadi sehari-hari. “Sebaliknya, justru sebagai orang dewasa, seyogyanya kita harus membicarakan, berdiskusi mengenai hal buruk itu,” ujarnya.

Baca Juga :  Lewat HEPI Forum, ITS Perkuat Kerja Sama dengan Perguruan Tinggi AS

Ia memaparkan proses adaptasi yang terdapat pada genre puisi yang diresepsi secara transkultural seperti karya Johann Wolfgang von Goethe, berjudul Erlkönig oleh Goenawan Mohammad dengan puisinya berjudul “Perjalanan Malam”. Dalam larik pertama dari puisi Goethe telah menjadi pembuka puisi Goenawan, “Wer reitet so spät durch die Nacht und Wind, es ist der Vater mit seinem Kind” tidak diterjemahkan oleh Goenawan, bahkan tema puisi Goethe juga dimasukan ke dalam puisinya. Akan tetapi, dengan elemen transkultural yang erat seperti hutan di dalam puisi Goethe menjadi pantai di dalam puisi Goenawan. Konteks ruang yang berbeda terjadi ketika Goethe memakai dan memaknai hutan, sementara Goenawan memakai pantai, ruang yang bertransformasi sesuai dengan konteks kepulauan di Indonesia.

Prof. Lila menjelaskan asumsi dasar yang dijadikan pijakan dalam kajian transkultural adalah bahwa “budaya” dibentuk melalui proses interaksi, sirkulasi, dan konfigurasi ulang. Asumsi ini kemudian membawa pengaruh yang cukup luas terhadap kajian budaya kontemporer karena budaya dipandang sebagai entitas yang terus berubah, bergerak, beradaptasi dan lebih dari itu dalam kontaknya dengan budaya lain melakukan pertukaran budaya di luar batas-batas yang tampak secara nyata. “Transkulturalitas melihat secara komprehensif pertemuan budaya yang berlangsung di tengah-tengah manusia modern. Lebih jelasnya, dalam proses transkulturalitas tidak ada yang dianggap statis, semua berlangsung terus-menerus secara dinamis,” ujarnya.

Prof. Lila menyimpulkan bahwa arah baru dalam konsep dan pendekatan ilmu humaniora akan lebih cocok dan dapat memberikan hasil yang lebih transparan serta menjadi lebih efektif ketika diaplikasikan pada fenomena dan arterfak budaya kontemporer. Ketika tukar-menukar budaya berlangsung secara damai dan setara, maka keberlangsungan budaya berjalan lebih kondusif. Menurutnya pori-pori dalam budaya lebih memungkinkan terserapnya budaya yang bermanfaat untuk pembentukan budaya yang hibrida dan memberikan keuntungan bagi sesama manusia. 

Baca Juga :  Dirjen Diktiristek: Pendidikan Tinggi Harus Optimis Bangun Indonesia Maju

“Konsep-konsep transkulturalitas dapat dijadikan konsep yang dipakai untuk mengkaji budaya kontemporer yang sedang berlangsung dengan cepat, tersebar kemana pun juga, dan mempunyai pengaruh yang nyata di dalam kehidupan kita semua seperti yang kita hadapi sekarang sebagai pengajar ketika harus mengubah kebiasaan mengajar di kelas menjadi pengajaran daring. Tak dapat dipungkiri, hal tersebut memberikan kesempatan sekaligus tantangan untuk lebih luwes dalam menghadapi masa depan yang mungkin semakin tidak dapat diramalkan lagi,” ujarnya.

Selama ini, Prof. Lila dikenal sebagai pakar bidang ilmu kajian budaya (cultural studies), diaspora, dan budaya populer. Ia aktif dalam kepengurusan organisasi diantaranya yaitu German Studies Association, The Association for Asian Studies, Interasia Cultural Studies, dan Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI).

Ia meraih gelar sarjana dari Program Studi Jerman, Fakultas Sastra UI, pada tahun 1983, kemudian tahun 1990 berhasil meraih gelar master di Gesamthochschule Kassel, Kassel, Jerman. Prof. Lila menyelesaikan studi doktoralnya di FIB UI pada tahun 2000. Selama sepuluh tahun terakhir, ia menghasilkan 27 karya ilmiah yang telah dipublikasikan baik di jurnal nasional maupun internasional.