MEMBUMIKAN EKOSISTEM KAMPUS MERDEKA SEBAGAI JALAN MEMENANGKAN MASA DEPAN INDONESIA

Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) telah dipilih oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai instrumen dalam memampukan anak muda Indonesia sebagai pemenang yang adaptif dan berdayasaing di masa depan. Dalam konteks tersebut, perguruan tinggi diharapkan dapat berperan sebagai ekosistem yang menggerakkan dan memantik potensi yang dimiliki mahasiswa dalam penyiapan masa depan tersebut. Kebijakan ini memiliki kekhasan dengan meletakkan mahasiswa sebagai subjek pembelajar dengan keleluasaan dalam memilih sendiri model pembelajarannya sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya. Hal ini diharapkan akan menyempurnakan dan/atau memperkaya capaian pembelajaran yang harus diraihnya selama studi pada program studi yang dipilih. Kebijakan MBKM dengan segala kelenturannya diharapkan menjadi sebuah terobosan dalam mempersiapkan lulusan perguruan tinggi untuk cakap menawarkan solusi, piawai dalam berkontribusi serta yang tidak kalah pentingnya adalah peka dalam bingkai keindonesiaan yang toleran dan menjunjung keberagaman.

Meskipun MBKM diyakini sebagai sesuatu yang progresif, namun tidak dapat dipungkiri dalam implementasinya tidaklah semudah membalik telapak tangan. Bukan pada esensi dan substansinya, melainkan pada ‘gegar budaya’ yang terjadi di kampus. Sebut saja, dilakukannya penyesuaian kurikulum, memodifikasi bentuk kegiatan pembelajaran, penajaman metode pembelajaran, peningkatan kualifikasi dan peran dosen dalam pembelajaran, yang kesemuanya mendadak berubah 180 derajat. Meskipun komunikasi yang intensif telah dilakukan oleh kementerian, namun tidak bisa serta merta informasi tersebut menjadi satu kesatuan pemahaman pada setiap kampus, karena persepsi setiap sivitas akademika beragam, sebagai konsekuensi dari diversitas pengetahuan dan pengalaman setiap warga kampus itu sendiri.

Baca Juga :  UI Dinobatkan Kemenristek/BRIN sebagai Institusi Terproduktif Hasilkan Kekayaan Intelektual Berkualitas se-Indonesia

Ekosistem ini akan tidak mudah diwujudkan sebagai akibat dari setiap kampus memiliki budaya, kelembagaan dan tata kelola komunikasinya masing-masing. Artinya, pesan sangat mungkin berpotensi tidak mengalir, bukan karena abai atau acuh, melainkan masih bertanya-tanya, siapa yang sesungguhnya bertanggung jawab dalam memberikan layanan dan memfasilitasi kebutuhan informasi sivitas akademika tentang MBKM di kampus? Termasuk pada sivitas akademika, kepada siapakah harus bertanya terkait MBKM ? Walhasil, bila tidak terinternalisasi dengan baik, maka program yang ‘revolusioner’ ini berpotensi untuk dihayati sebagai beban alih-alih kesempatan untuk memampukan kompetensi calon sarjana untuk ‘siap tempur’ di medan masa depan.

Lalu, bagaimana menjadikan MBKM sebagai ‘ruang dan gaya hidup baru’ di perguruan tinggi? Idealnya, setiap kampus memiliki atau menugaskan unit kerja tertentu sebagai pengelola informasi dan komunikasi tentang MBKM. Selanjutnya, unit tersebut harus memiliki product knowledge, mengelola layanan dan fasilitasi informasi, menjadi narahubung ‘24/7’ bagi warga kampus, menjadi jurubicara tentang konten MBKM, merancang narasi dan opini publik yang konstruktif sekaligus mengoptimasi seluruh saluran informasi yang ada di perguruan tinggi. Komunikasi yang didesain, dikelola dan dihadirkan oleh unit kerja MBKM ini, hakikatnya adalah ‘berbicara dan menyimak’ dalam suasana kebatinan masing-masing perguruan tinggi.

Baca Juga :  UI Sediakan Total 8.628 Kursi Untuk Mahasiswa Jenjang D3, D4, dan S1

Meletakkan kepentingan, kebutuhan dan harapan pemangku kepentingan – sivitas akademika perguruan tinggi – sebagai tujuan komunikasi unit kerja ini, demi terhindarnya misinformasi dan disinformasi tentang program ini. Hal ini penting, mengingat MBKM merupakan sebuah kebijakan yang ‘berani’ dan mendobrak kebiasaan dan budaya masa silam. MBKM merupakan keniscayaan yang tak terelakkan dan sungguh sebuah kebutuhan untuk menjawab tantangan di masa depan. Namun, tanpa komunikasi yang tepat pada semua yang berkepentingan, MBKM bisa dikenang sebagai artefak sebuah kekuasaan belaka bahkan ‘dicibirkan’ dalam senyap oleh mereka yang tidak memahami hakikat manfaat dari kebijakan ini.

Ditulis oleh: Wisnu Widjanarko, Dosen Universitas Jenderal Soedirman
(Tulisan ini menjadi Terbaik 2 pada Kompetisi Penulisan Artikel untuk dosen dalam rangka Hari Pendidikan Nasional di Ditjen Dikti Tahun 2021)