close

SASTRA TIDAK BISA DILEPASKAN DARI PERKARA KEKUASAAN

Depok, 19 Juni 2021. Rektor Universitas Indonesia (UI) Prof. Ari Kuncoro, S.E., M.A., Ph.D pagi ini mengukuhkan empat guru besar dari Universitas Indonesia, yakni Prof. Dr. Irmawati Marwoto, S.S., M.S., Prof. Dr. R. Cecep Eka Permana, S. S., M. Si., Prof. Manneke Budiman, S. S., M. A., Ph. D., dan Prof. Dr. Lilawati Kurnia, S. S., M. A. Pengukuhan dilakukan secara virtual dan dihadiri antara lain oleh Dr. Seno Gumira Ajidarma, S.Sn., M.Hum (Rektor Institut Kesenian Jakarta Periode 2016-2020) dan Richard Louhenapessy, S.H (Walikota Ambon).

Dalam pidato pengukuhannya yang berjudul “Dari Kajian Sastra ke Kajian Budaya: Humaniora dalam Perubahan Zaman”, Prof. Manneke Budiman, S.S., M.A., Ph.D. mengatakan bahwa Buku Orientalisme mengakhiri masa panjang studi sastra dan budaya yang bersifat innocent, lepas dari politik, dengan minat yang murni dan melulu pada estetika serta keluhuran peradaban, dan sastra tidak bisa dilepaskan dari perkara kekuasaan.

“Sejak Orientalisme pula kurikulum sastra di berbagai studi sastra di perguruan tinggi mengalami perombakan radikal, terutama pada cara membaca teks-teks kanon secara kritis untuk menguak kerja ideologi yang menggunakan sastra dan budaya sebagai penjelmaannya,” ujarnya. Menurut Prof. Manneke, revolusi dalam studi sastra dan humaniora secara umum sebagai akibat dari perubahan fundamental pada pemahaman tentang sastra dan peran kekuasaan.

Hal tersebut mendorong berkembangnya sebuah tren baru dalam humaniora, yaitu cultural studies (kajian budaya). “Masuknya berbagai teori kritis dari ranah marxis dan posmodernis memulai sebuah tradisi membaca teks yang tujuan utamanya bukan untuk melakukan katalogisasi atas hal unggul di dalam teks, melainkan menyelam lebih dalam ke bawah lapis keindahan teks untuk menemukan pola pikir, cara pandang, atau ideologi yang membonceng pada teks,” ujarnya.

Baca Juga :  Dosen Vokasi UI Beri Pendampingan Pajak bagi UMKM di Cirebon

Walaupun teori telah lama mewarnai kritik sastra pada studi sastra di banyak tempat, sesudah tahun 1980-an warna kajian kritis itu tidak hanya akademis sifatnya, tetapi mulai bermuatan politis. Di banyak fakultas sastra di Barat maupun di luar Barat, kurikulum pelajaran sastra berubah cukup signifikan dan memuat kemampuan untuk membaca sastra tidak hanya dengan kacamata lama tetapi mendayagunakan respon kritis dari ilmuwan-ilmuwan non-Barat.

Di FIB UI, jenis-jenis teks lain yang dulu tidak lazim digunakan dalam kajian sastra, seperti film, seni pertunjukan, graffiti, musik, pidato politik, berita media, blog dan vlog, serta media sosial, kini marak dijadikan korpus riset mahasiswa dengan tujuan untuk mengungkap baik aspek-aspek tekstual maupun ideologisnya. Lebih lanjut, Prof. Manneke menyampaikan bahwa masuknya teori-teori kritis ke dalam kajian sastra dan budaya tidak hanya menarik minat dari segi bagaimana teori-teori itu membongkar modus operandi kuasa hegemonik dalam membentuk kesadaran, tetapi juga karena membukakan kemungkinan-kemungkinan untuk melakukan resistensi atas hegemoni tersebut. Realitas sosial terus berubah dan kondisi kehidupan manusia saat ini tidak lagi sama seperti dulu ketika wacana perlawanan terhadap hegemoni dikembangkan.

“Humaniora tetap perlu merespon permasalahan-permasalahan sosial tersebut, kita kini juga berhadapan dengan gejala-gejala baru yang terbukti memiliki dampak luar biasa bagi kelangsungan tatanan sosial dan kehidupan sehari-hari. Kekuatan-kekuatan baru ini berkarakter post-human, dalam artian bahwa mereka tidak dapat dikendalikan dampaknya ataupun diprediksi dinamikanya, dan bahkan berpotensi menggeser sentralitas manusia atau humanisme. Kata kunci baru yang perlu diperhitungkan adalah vulnerability (kerentanan) dan alternatif pasangan yang dianggap lebih sepadan bagi vulnerability, yaitu resilience (resiliensi). Kajian kritis atas kebudayaan, ke depan, boleh jadi akan lebih bersangkutan dengan kesintasan manusia dalam lingkungan alam dan tata kehidupan yang berubah secara drastis, di mana kuasa global seperti kapitalisme pun bisa terpukul keras, seperti yang kini sedang terjadi akibat pandemi Covid-19,” kata Prof. Manneke.

Baca Juga :  Dirjen Dikti Resmikan Tiga Laboratorium di UNP

Manneke lulus dari Program Studi Sastra Inggris Fakultas Sastra UI pada tahun 1989, kemudian tahun 1994 berhasil meraih gelar Master of Arts, Comparative Literature, di University of Wisconsin-Madison, USA. Pada 2011, Manneke menyelesaikan studi doktor dengan peminatan Asian Studies, di University of British Columbia, Kanada. Manneke cukup aktif dalam menulis karya tulis dan tercatat 50 publikasi ilmiah nasional yang ia tulis dalam kurun waktu 1995-2021. Di antara karya ilmiah terbarunya adalah Film-makers’ Aesthetic Strategy against the Politics of Taste of European Film Festivals, yang terbit di Kasetsart Journal of Social Sciences, Vol. 42, No. 1, January-March 2021.

Pada acara pengukuhan ini, hadir tamu undangan dari berbagai universitas, antara lain Prof. Abidin Kusno dari York University, Toronto, Canada, serta Majelis Wali Amanat, Dewan Guru Besar, Sekretaris Universitas, Para Warek, Sekretaris Universitas, Dekan/direktur dari 16 fakultas/program pendidikan vokasi/sekolah yang ada di UI. Sejumlah 180 orang hadir mengikuti kegiatan yang disiarkan juga melalui UI Teve dan kanal Youtube resmi UI tersebut.